Beranda kutim Dapur! Jantung yang Menentukan Hidup Mati Keluarga – Literasi di Mata Perempuan...

Dapur! Jantung yang Menentukan Hidup Mati Keluarga – Literasi di Mata Perempuan (2)

0

Loading

SUARAKUTIM. COM, JAMBI – Literasi cenderung tumbuh dari hal-hal yang esensial di dalam sebuah rumah, ia terbentuk dari hal yang berkaitan antara manusia satu dengan manusia lainnya. Memanfaatkan interaksi sosial dalam ruang dan waktu yang terhubung dengan pagi, siang, hingga malam.

Ia tidak bias soal gender, namun berkembang luas atas nama perbincangan hangat dan keasyikan mendengar berbagai kisah yang dimulai dari tuturan satu ke tuturan selanjutnya, dari bilangan satu hingga tak terhingga.

Digambarkan oleh ingatan masa lalu, Linda Christanty teringat tentang pencerita pertama dalam hidupnya. Perempuan dalam keluarga yakni nenek, ia mendengarkan cerita dari sebuah dapur yang bagi orang melayu atau Indonesia kebanyakan terletak di belakang rumah. Macam-macam cerita yang terbangun dalam perbincangan itu, mulai dari dongeng hingga cerita rakyat.

Berlanjut pada pencerita kedua berupa radio transistor, yang mana menyajikan cerita-cerita pendek menembus ke dalam ruang dengar di dalam rumah masa kecilnya melalui siaran radio ABC dari Australia. Berlanjut pada pencerita ketiga yakni perpustakaan keluarga, sekolah, dan situs-situs sastra di internet.

“Waktu kecil kehidupan saya diliputi cerita. Pusat cerita pertama dalam hidup saya adalah dapur, bukan perpustakaan. Seperti rumah orang-orang Indonesia pada umumnya, dapur di rumah keluarga saya terbilang cukup luas. Dapur seharusnya jadi ruang utama dalam rumah, karena ia menjadi pusat aktivitas. Jantung sebuah rumah dan menentukan hidup mati anggota keluarga, tanpa makanan orang tidak bisa bertahan hidup. Disela-sela menyiapkan makanan baik nenek hingga juru masak berbagi cerita, saya senang mendengar cerita meraka,” ungkap Linda.

Pengalaman tentang dapur terungkap lagi dalam kacamata Linda, ketika ia pergi ke Amerika Serikat pertama kali. Ia melihat dapur di beberapa rumah keluarga temannya, berada dekat sekali dengan ruang tamu atau ruang keluarga. Menjadi satu kesatuan atau kesinambungan. Apakah posisi dapur di rumah-rumah orang Indonesia, dilekatkan dengan posisi perempuan umumnya, dalam masyarakat patriarki? Yang berada di belakang hingga letaknya menjadi dibelakang pula. Membutuhkan penelitian tersendiri untuk menjawabnya.

Dongeng yang masih diingatnya dalam tutur yang berlangsung di dapur itu antara lain Batu Belah Batu Bertangkup, Tongkat Kaik Nungang, Malin Kundang, Kampung Bubung Tujuh, Buaya Putih, Cindai, Pak Udak, Gergasi, Buluh Perindu, hingga Beruk dan Putri Raja yang merupakan versi lain Lutung Kasarung.

“Nenek memiliki kemampuan menyuarakan sosok-sosok dalam dongengnya secara meyakinkan. Menunjukkan kekuatan sastra lisan, seringkali ia mengingatkan kami cucu-cucunya untuk menyayangi Ibu kami. Dengan mengatakan, ingat cerita Batu Belah Batu Bertangkup. Jangan sampai macam anak-anak dalam cerita itu. Dimana seorang ibu meminta batu menelannya, karena tidak tahan menghadapi kelakuan anak-anaknya,” ucap Linda.

Penulis Dari Jawa Menuju Atjeh pada 2009 itu, menerangkan mengenai perihal radio transistor miliki kakeknya, merk Philips buatan Belanda pada masa itu. Kakeknya biasa mendengar siaran-siaran berita dari radio tersebut. Ketika keluarganya memiliki televisi hitam putih pada akhir 1970, kakek dan ayahnya nekat membangun antena radio tertinggi di Pulau Bangka untuk menangkap siaran televisi luar negeri.

“Seperti dari Malaysia dan Singapura, sehingga saya sering meminjam radio transistor kakek karena sang empunya telah berpindah hati ke televisi. Saya menemukan frekuensi radio Australia atau ABC seksi bahasa Indonesia, dan rutin mendengarnya usai pulang sekolah. Radio ini juga membacakan cerpen, terutama karya-karya Mohammad Diponegoro seorang tentara pejuang dan jurnalis penulis pasca kemerdekaan,” terangnya.

Dari salah-satu Cerpen Mohammad Diponegoro berjudul Odah, Linda mengetahui sisi lain dari masa revolusi kemerdekaan di Indonesia melalui fiksi. Sebuah kisah yang sangat intens tentang pengorbanan dan ketulusan rakyat. Sungguh menggugah perasaan, dimana tokoh-tokoh cerpen tersebut berkembang dengan merespon situasi maupun perubahan. Kelak Linda akan bertemu kembali dengan cerpen-cerpen M. Diponegoro di perpustakaan kampusnya.

“Waktu saya kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, tetapi cerpen-cerpennya tidak dibahas dalam kelas. Apa sebabnya saya tidak tahu? Pencerita ketiga adalah buku-buku di perpustakaan keluarga kami, dari kakek saya belajar tentang politik Indonesia dan politik global. Ia membeli buku-buku dari toko buku yang ada di Sumatera, Jawa, dan Malaysia,” terang peraih penghargaan S.E.A Write Award/Southeast Asian Writers Award 2013.

Belum lagi ketika hari libur tiba, Orang Tua Linda mengajak anak-anaknya pergi ke toko buku. Disini ia bertemu buku-buku cerita yang ditulis oleh penulis Indonesia dan penulis asing. Seri Astrid karya Joko Lelono, Seri Lima Sekawan dan Seri Sapta Siaga karya Enid Blyton, Dongeng Lima Benua serta Dongeng Nusantara, termasuk buku-buku dongeng karya Hans Christian Andersen.

Ketika ditanya mengenai perihal area “Dapur” sebagai sarana awal mengenal literasi, yang tidak banyak terbentuk pada masa sekarang. Lantas bagaimana membentuknya ditengah perihal kekinian yang melanda.

Linda Christanty menyebutkan banyak teman-teman dari generasi sebelumnya sangat beruntung. Kita dibesarkan dalam budaya, pergaulan kehidupan, sebuah masyarakat komunal, ataupun kekerabatan yang sangat erat. Di dalam satu rumah bisa tinggal ibu-ayah, kakek-nenek, saudara-saudara, para bibi.

“Memang disatu sisi membuat rumah tidak hanya dihuni keluarga inti, dan terasa sangat ramai. Tetapi di satu sisi dengan hadirnya mereka, atau orang-orang yang bermacam ini diluar keluarga inti. Memperkaya juga ataupun pengalaman hidup kita, baik hal interaksi dengan berbagai macam orang dan dalam menyerap atau mendengarkan berbagai cerita,” ucapnya.

Untuk generasi muda saat ini, apalagi yang tinggal di perkotaan. Linda berpikir jika terjadi perbedaan dalam ruang lingkup ataupun suasana keluarga yang membesarkan mereka. Di dalam sebuah rumah hanya terdiri dari keluarga inti saja yakni anak-anak dan orang tua. Kalaupun ada nenek dan kakek atau paman dan bibi, atau saudara-saudara yang datang dari kampung lain untuk tinggal, itu pun jarang terjadi.

“Bagaimana jika anak-anak sekarang tidak mendapati sumber cerita-cerita lisan yang kaya, yang seperti saya dan kita dapatkan pada masa itu. Kemungkinan mereka akan bisa mengatasi itu, harusnya dari guru-guru di sekolah. Di sekolah mereka mungkin diajarkan cerita-cerita rakyat ataupun sastra lisan, termasuk meminta mereka menuliskan cerita yang mereka khayalkan sendiri,” ungkapnya.

Tentu saja masalahnya, ketika sumber-sumber cerita awal ini tidak ada atau didapatkan oleh anak-anak. Yang sebenarnya bisa didapatkan dari ibu-ayah, nenek-kakek, paman-bibi, maka pada akhirnya anak-anak harus mencarinya sendiri dan minimal mereka mendapatkannya dari sekolah.

Inilah yang disesalkan jika cerita-cerita itu tidak dikenal lagi dalam kehidupan keluarga yang tinggal di perkotaan atau masyarakat urban. Sehingga kebanyakan anak-anak sekarang tidak lagi pernah mendengarkan cerita lisan dari ibunya. Mereka tumbuh dan mengkonsumsi cerita-cerita modern, yang membuatnya semakin jauh dari sumber-sumber cerita yang mengekspresikan kebudayaan, pemikiran, dan kreativitas masyarakat Indonesia. Masih kemudian mengandalkan budaya literasi dari orang lain, tanpa menanamkan dasar pada generasimu sendiri? (Nal)

Artikulli paraprakOrang Merasa Sudah Tahu Semuanya – Literasi di Mata Perempuan (1)
Artikulli tjetërRakor Forum KEE LBMS, Eksistensi Penguatan dan Pengamanan Ekosistem serta Habitat Endemik Kalimantan di Kecamatan Long Mesangat dan Muara Ancalong