SANGATTA (13/1-2018)
Defisit APBD Kutai Timur (Kutim) dalam kurun waktu 2 tahun belakangan, tidak lepas dari ketidakstabilan kondisi keuangan negara . Kutim yang sebagian besar pendapatan daerahnya berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) dan royalti dari pemerintah pusat tentu akan merasakan imbas yang sangat besar jika negara mengalami guncangan ekonomi.
Namu, sebagaian kalangan masyarakat dan elit politik, mempertanyakan kebijakan pemerintah pusat dalam hal ini Kementrian Keuangan (Kemenkeu) dalam memberlakukan pemangkasan anggaran.
Ketua DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kutim, Mahyunadi, kepada awak media, menyatakan seharusnya Pemkab Kutim lebih melakukan pendekatan kepada pusat dan mempertanyakan terkait kebijakan pemerintah pusat dan Menkeu, terkait kondisi defisit keuangan yang dialami Kutim.
Sebelum awal tahun anggaran baru, biasanya pusat mengeluarkan Peraturan Presiden (Pepres) terkait besaran DBH, royalti dan Bankeu (Bantuan Keuangan) yang akan ditransfer. Keputusan pemerintah pusat, kata Mahyundai, menjadi patokan pemkab untuk mentapkan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
“Kenyataannya menjelang pertengahan tahun, pusat kemudian kembali mengeluarkan Perpres terkait perubahan atau pengurangan nilai transfer ke kabupaten. Jauh berbeda besarannya dari nilai awal yang dijanjikan. Hal seperti ini sudah berlangsung selama dua tahun belakangan dan menyebabkan Kutim mengalami defisit keuangan yang berdampak terhadap kwewajiban daerah,” beber Mahyunadi.
Disebutkan, pada tahun 2017, dana transfer yang dikirimkan pusat mengalami peningkatan yang signifikan karena terjadinya peningkatan jumlah produksi batubara dan juga diiringi meningkatnya nilai jual batubara di dunia, kenyataannya yang diteruma justru turun. “Ini yang patut dipertanyakan kepada pemerintah pusat, apa gerangan yang menyebabkan nilai tranfer mengalami penurunan yang sangat jauh. Padahal Kutim merupakan Kabupaten penghasil batubara dan migas,” sebutnya.
Meski demikian, politikus Partai Golkar ini mengingatkan, perjuangan ke pemerintah pusat harus dilakukan secara elok dan elegan. Ditegaskannya, sudah tidak lagi zamannya menggerakkan massa dalam jumlah besar dan melakukan demo di Jakarta.
“Ironi sekali dalam kondisi keuangan yang serba sulit saat ini ternyata masih bisa menggerakkan massa ke Jakarta dan melakukan demonstrasi. Jika memang ada biayanya, maka akan lebih baik dialokasikan untuk menutupi belanja-belanja daerah yang saat ini jauh lebih sangat mendesak,” imbuhnya.(SK3)