
Menjelang reka ulang yang dilakukan dikediamannya yang berada belakang SMP Negeri 1 Teluk Pandan, pria asal Sulsel mengakui berkebun nanas dan tomat merupakan sumber mata pencarian keluarganya. “Inilah rumah dan tempat kami sekeluarga,” kata Na saat mengenalkan rumah panggungnya yang berada seratus meter dari tempat orang utan ditemukan.
Menurut Na, di rumah panggung yang tampak bolong – bolong dindingnya itu merupakan satu-satunya tempat tinggal mereka di Kutim. Rumah hanya ada 1 kamar itu, selama ini dihuni 5 orang yakni Nas bin Sa, An bin Ha (37) dan Na (37) kemudian anak perempuannya dan satu Dio – bukan nama sebenarnya, cucu Nas. “Kehidupan kami yang berkebun nanas dan sayur saja, jika ada buahnya kami jual di pasar,” ungkap Nas.
Tak heran sekitar rumah terbanyak pohon nanas, bahkan ada gundukan bibit nanas yang siap di tanam. Namun, semenjak Nas bersama keluarganya diamankan, kini yang tinggal hanya anak perempuannya bersama Dio yang juga menjadi tersangka dalam pembantaian satwa langka di dunia ini. “Kalau melihat kebun ini, kami tak bisa berkata apa-apa lagi karena semua sudah terjadi. Anak perempuan saya tentu tak mampu menjaga dan membersihkannya, karenanya satu anak saya di Sulawesi saya minta datang untuk membantu terlebih ia sedang sakit. Kini kami harus masuk penjara, ya kami pasrah saja, inilah nasib keluarga kami,” ujar Nas pelan.
Ditanya seputar senapan angin yang ada, diakui untuk berjaga-jaga dari gangguan binatang buas seperti babi dan orang utan. Namun, diakuinya orang utan yang kerap datang dan memakan buah di kebun mereka seperti nanas, bahkan buah cempedak yang pohonnya hanya berjarak 2 meter dari teras rumah Nas. “Orang utan itu meski berkali-kali diusir, tapi tak mau lari beda dengan monyet jangankan ditembak diteriakin saja sudah lari,” timpal Ru yang baru 4 bulan di Teluk Pandan yang rencananya mau berobat karena mata sebelah kanannya sempat tertusuk kayu.
Namun apa mau dikatakan, Nas bersama anak, menantu serta cucunya harus mempertanggungjawabkan tindakan mereka yang dinilai telah membunuh satwa langka, meski mereka mengaku tidak mengetahui membunuh orang utan dilarang.
Perbuatan keluarga petani ini, langsung bergema keberbagai belahan dunia, bahkan jauh mengalahkan nasib 7 warga Sangatta Utara yang kapalnya ditabrak ponton yang hingga kini 4 orang belum diketahui nasibnya.
Kelima warga Teluk Pandan ini, disangka melanggar pasal 21 ayat 2 huruf a jo pasal 40 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAE Jo Pasal 55 KUHP yang intinya setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Bagi pelanggarnya, diancam dengan hukuman penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 juta. (SK12)