Beranda hukum PWI dan AJI Kaltim Dampingi Wartawan Lapor Propam

PWI dan AJI Kaltim Dampingi Wartawan Lapor Propam

0
Ke lima wartawan di Kaltim yang terkena aksi kekerasan oknum anggota Polresta Samarinda melapor ke Propam Polresta Samarinda.(Foto Ist)

Loading

SAMARINDA (11/12-2020)

Alianis  Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim, Sabtu (10/10) mendampingi lima jurnalis melapor ke Propam Polresta Samarinda. Para jurnalis ini melapor sesuai Pasal 18 UU Nomor 40/1999 tentang Pers Jo Pasal 335 (1) dan Pasal 351 (1) KHUP tentang Penganiayaan.

“Karena kami menilai, saat rekan korban menceritakan kronologi, ada dugaan penganiayaan. Bahwa itu terbukti atau tidak, itu kita lihat dari hasil pemeriksaan nanti,” terang Sabir Ibrahim, kuasa hukum para korban.

Sebanyak lima jurnalis lokal mengalami kekerasan fisik saat menjalankan tugas jurnalistik di Samarinda. Mereka adalah Samuel Gading (Lensa Borneo), Mangir (Disway Nomersatu Kaltim), Kiky (Kalimantan Tv)  Yuda Almeiro (IDN Time), dan Faishal Alwan Yasir (Koran Kaltim).

Ke Lima jurnalis Kaltim ini mendapat tindak represif dari aparat pada Kamis (8/10) malam, saat mereka meliput aksi di depan Mapolresta Samarinda. Setelah pelaporan ini, selanjutnya para korban akan dipanggil pada Senin (12/10) untuk membuat berita acara.

Sederet barang bukti tindakan represif oknum aparat berupa foto hingga video juga telah siap. “Mereka berlima mengalami kejadian yang berbeda-beda. Tapi mereka berlima semuanya merekam video dengan titik yang berbeda. Jadi, video mereka masing-masing ini lah yang akan disampaikan,” tutur Sabir, Kuasa Hukum dari Jaringan Advokasi Masyarakat (JAM) Borneo ini.

AJI sendiri berkomitmen mendampingi para jurnalis hingga mereka mendapat hak-haknya. Pelaporan sebagai upaya memberikan efek jera kepada para pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Apalagi, kasus kekerasan yang dialami lima jurnalis bukan yang pertama di Kaltim. Selama ini, kasus kerap berakhir permintaan maaf.

Tetapi, hal ini kerap terulang. Untuk itu, para korban juga berhak menuntut haknya sebagai warga negara dan jurnalis yang pekerjaannya sudah dijamin oleh undang-undang. Kekerasan fisik dan intimidasi terhadap pewarta bisa diproses pidana karena secara nyata dan terbuka menghalangi-halangi kerja-kerja pers.

Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 40/1999 tentang Pers, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda sebanyak Rp 500 juta”. “Setiap orang” dalam pasal itu termasuk polisi.

Sepanjang April 2019-Mei 2020, AJI mencatat ada 31 kasus yang dilakukan oleh anggota Polri. Dua momen kekerasan terjadi ketika jurnalis meliput demonstrasi besar di bulan Mei dan September tahun lalu. Ditarik lebih jauh, medio 2006-September 2020, AJI mencatat ada 785 jurnalis jadi korban kekerasan.

Kekerasan fisik nangkring di nomor satu kategori jenis kekerasan (239 perkara); disusul pengusiran/pelarangan liputan (91); dan ancaman teror (77). Dalam ranah pelaku, 65 orang merupakan anggota polisi, 60 massa, dan 36 orang tidak dikenal.

AJI juga meminta kepolisian menghormati Nota Kesepahaman Dewan Pers-Polri terdaftar dengan Nomor: 2/DP/MoU/II/2017 dan Nomor: B/15/II/2017 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.(*/SK8)

Artikulli paraprakPetugas, Pahami Aturan Karhutla
Artikulli tjetër