
SANGATTA,Suara Kutim.com (18/8)
Perhitungan silpa sekitar Rp400 trilun, karena pada tahun 2015 pemerintah pusat kekurangan bayar ke Pemkab Kutim untuk pembayaran triwulan IV, karena itu silpa tidak tercapai. “Selama ini pemerintah pusat tidak pernah membayar tetap sesuai dengan Perpres, maka dikuatirkan kalau itu terjadi maka kekuranga itu masih bisa nambah. Karena itulah, selam ini dalam perencanaan anggaran prediksi belanja selalu diplot maksimal 80 persen dari prediksi pendapatan,” bebernya.
Terkait mekanisme pemotongan anggaran 60 persen, diakui Yulianti, tidak jelas aturannya, karenaa sebagai daerah penghasil justru menjadi korban. Lebih rinci, ia menyebutkan kalau alasan Kutim mendapat Rp972 miliar dari royalti, dengan alasan harga batu bara turun semuanya harus jelas berapa jumlah hasil penjualan batu bara dari Kutim. “Apa memang hasilnya hanya Rp972 miliar, mana datanya, tapi selama ini tidak langsung dipotong begitu saja, sehingga tidak jelas dari mana angka itu didapat,” ungkapnya dengan raut muka menandakan kejengkelannya.
Ia menyebutkan, seandainya tidak dilakukan pemotongan sampain 60 persen meskipun tidak bayar lagi triwulan IV dengan realisasi penerimaan hingga Agustus senilai Rp2,4 triliun, keungan Pemkab Kutim masih aman. “Karena dilakukan pemotongan, keuangan Kutim jadi defisit,” tandasnya.
Terkait dengan kemungkinan memaksimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Yulianti mengatakan, dengan kondisi Kutin saat ini sulit bahkan prediksi PAD yang ada sudah maksimal meski selalu melampaui target. “Kita ini bukan kota besar, yang punya hotel banyak, hotel bintang hanya satu yang bisa memberikan kotribusi PAD. Untuk PBB, Kutim hanya berhak PBB sektor perkotaan, sedangkan sektor PPP diambil Pusat, daerah hanya kebagian bagi hasil,” ulasnya secara detail.(SK2)