Beranda hukum Dalam 5 Tahun, Terjadi 21,6 Juta Pelanggaran Hak Anak

Dalam 5 Tahun, Terjadi 21,6 Juta Pelanggaran Hak Anak

0

Loading

SANGATTA,Suara Kutim.com (15/4)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak tahun 2013 telah menetapkan Indonesia darurat kejahatan seksual. Penetapan ini diambil setelah KPAI melakukan monitoring selama 4 tahun.
“Dalam jangka waktu 5 tahun terjadi 21,6 juta pelanggaran hak anak. Dari pelanggaran hak anak itu, 58 persen adalah kejahatan seksual. Karena itu, angka ini dijadikan sebagai parameter pertama darurat kejahatan seksual anak,” ungkap Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas PAI) Arist Merdeka Sirait, dalam paparannya yang disampaika pada seminar sehari bertemakan Stop Kekerasan Terhadap Anak, Kamis (14/4) kemarin.
Yang menjadi parameter kedua, ujar pria yang akrab disapa Aris ini, pelaku utama kejahatan kepada anak adalah orang terdekat yang berada dalam lingkungan rumah tangga seperti ayah, paman. Kemiudian orang di luar rumah seperti sekolah dalam hal ini guru, serta orang terdekat lainnya.
Dengan tegas, ia menyebutkan ada panti anak yang berlandaskan agama juga termasuk ambil andil dalam tindak kekerasan terhadap anak namun masih dianggap sebagai kekerasan biasa. “Seharusnya sudah dianggap sebagai kejahatan luar biasa dan disamakan dengan tindak pidana narkotika, korupsi dan terosisme, sehingga tentu penegak hukum bisa menjatuhkan hukuman lebih berat, untuk memberikan efek jera,” sebutnya di seminar yang digarap Karang Taruna Kutim ini.
Menurutnya, kejahatan seksual yang terjadi baik di kota maupun pedesaan penyebab utamanya moral. Karena itu, ia berpendapat perlu pendidikan terutama kesadaran hukum bagi masyarakat. Terkait dengan masalah UU peradilan anak yakni UU Nomor 11 Tahun 2012 dimana anak sebagai pelaku kejahatan bisa diselesaikan diluar peradilan atau disversi, Aris mengakui hal ini diambil karena pertimbangan masa depan anak.
Dalam seminar yang diikuti banyak pihak itu, ia menandaskan UU Perlindungan Anak tidak salah tetapi masyarakat harus memahami dan menerima ini sehingga jika masyarakat memahami hukum, maka bisa menerima penyelesaian dengan cara ini. “ Cara mendidik anakpun, kini berubah, tidak lagi dengan pemaksaan, kekerasan, namun dengan dialogis dan partisipasif,” pesannya.(SK-02/SK-03/SK-14)