Beranda kutim adv pemkab Keterlibatan Perempuan dalam Dunia Politik Masih Rendah, Basuni Sebut Banyak Faktor Penyebabnya

Keterlibatan Perempuan dalam Dunia Politik Masih Rendah, Basuni Sebut Banyak Faktor Penyebabnya

0
Kepala Kesbangpol Kutim, Muhammad Basuni

Loading

SuaraKutim.com, Sangatta — Meski pemerintah melalui Undang-undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 telah membuka peluang seluas-luasnya kepada kaum perempuan untuk terlibat aktif dan berpartisipasi dalam pemilu khususnya Calon Legislatif (Caleg), namun ternyata partisipasi perempuan dalam kancah dunia politik masih sangat rendah.

Khususnya di Kabupaten Kutai Timur, angka persentase partisipasi perempuan Kutim dalam dunia politik dinilai masih sangat rendah. Padahal jumlah pemilih 51 persen merupakan partisipan perempuan.

Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kutim, Muhammad Basuni mengatakan rendahnya keterwakilan perempuannya di parlemen akibat beberapa faktor, dimulai dari tantangan internal keluarga, faktor budaya, ekonomi, SDM dan lain-lain.

Menurut Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, setiap partai politik dalam calegnya harus 30 persen adalah perempuan.

Namun umumnya terjadi, keterwakilan perempuan dalam partai politik hanya sekedar pajangan untuk memenuhi syarat 30 persen. Yakni hanya menempati urutan ketiga, keempat dan seterusnya. Sementara target menang berada di nomor urut 1 dan 2 yang ditempati laki-laki.

Oleh karena itu, perempuan yang betul-betul mencalonkan diri, harus memiliki energi dua kali lebih besar dari laki-laki karena tantangan yang lebih berat.

Lebih lanjut ia menjelaskan, dari 40 anggota DPRD Kabupaten Kutim saat ini hanya ada 6 orang perempuan, yakni hanya 15 persen dari parlemen adalah perempuan.

“Ya kalau menurut pemikiran saya, jika pemerintah ingin menempatkan perempuan 30 persen dalam parlemen, maka formatnya adalah perempuan bersaing dalam perempuan sendiri. Jangan dicampuri 30 persen disaingi dengan laki-laki,” ujarnya.

Ia menjelaskan, permasalahan perempuan termasuk soal stunting hanya bisa diselesaikan perempuan. Karena dia yang mengalami, merawat anak dan sebagainya. Jika permasalahan stunting mereka lebih memahami bagaimana arah penyelesaiannya.

“Bahkan ada yang bilang politik kepedulian, perempuan yang lebih peduli,” tuturnya.

Tidak hanya di parlemen, penerima bantuan sosial (Bansos) BLT (Bantuan Langsung Tunai) diutamakan adalah Kepala Keluarga yang secara jelas bahwa itu adalah laki-laki. Yang seharusnya adalah ibu-ibu atau perempuan.

“Karena perempuan yang lebih tau kebutuhan dalam keluarganya, jika bapaknya yang mengambil, sebelum ke rumah singgah di warung untuk beli rokok dan sebagainya,

padahal uang tersebut adalah hasil BLT,” jelasnya.(Adv/Red/ SK-03)