Beranda kutim bengalon Benang Dan Madu Banggeris di Hutan Bengalon

Benang Dan Madu Banggeris di Hutan Bengalon

0
Kepala Adat Dayak Basap Tebangan Lembak, Sedang menggunakan Jomo bermotif Dayak Basap. Foto: Edu Ponces / RUIDO Photo

Loading

Rumah kayu berlapis cat warna hijau yang telah kusam itu, dindingnya disusun dari tumpukan papan berlapis tanpa hiasan apapun didindingnya. Satu-satunya yang terlihat menghiasi dinding adalah baju adat. Lengkap dengan mandau yakni parang khas masyarakat dayak, yang digantung bersebelahan dengan bingkai piagam penghargaan atas dedikasi seseorang terhadap karya seni melukis.

Rumah dengan ukuran tidak besar itu ditinggali dua kepala keluarga dan menjadi sesak jika dipakai  berkumpul banyak orang. Dua kamar tidur dan satu ruang tamu kecil berukuran lima langkah kaki orang dewasa, menjadi tempat yang selalu ramai saat sore menjelang.

“Karena sudah lama tidak ada madu disini, jadi aku pergi ikut panen madu ke Lesan, di Berau sana, eh pulang-pulang malah sakit leh kaki ku,” ungkap Benang Kepala Adat Dayak Basap, yang kini menderita gejala stroke ringan, dan membuat kakinya seketika kaku. Selasa, (06/01/23)

“Ini jahe, di campur buah buah dan ramuan untuk obat, ini aja terus aku oleskan ke kaki,” ungkapnya sambil mengoleskan ramuan tersebut ke sekujur kakinya yang kini sulit digerakan.

Pak Benang sendiri telah cukup lama menjadi kepala Adat Dayak Basap, ia kemudian mendirikan Lembaga Adat Dayak Basap Dato Lelap Bergelar Macan. Lembaga ini sengaja dibuatnya untuk melindungi apa yang kini tersisa dari kebudayaan masyarakat Dayak Basap Tebangan Lembak yang saat ini berdampingan dengan perusahaan tambang Batu Bara.

“Kampung kami ya di Tebangan Lembak sana, disitu masyarakat Basap bermukim, kalau di Sepaso ini karena anak saya kerja jadi harus tinggal di luar, kalau di atas sana tidak ada listrik,” jelasnya membuka obrolan.

Pohon Banggeris (Koompassia sp), Di puncaknya, lebah hutan (Apis dorsata) membuat sarang untuk menghindari serangan hewan hutan. Madu yang dihasilkan pun kualitas yang baik. Sumber Foto fraunesia.com

Masih kental diingatannya aktivitas masyarakat dayak Basap di dalam hutan Bengalon. Tepatnya di Desa Tebangan Lembak. Berburu rusa, mencari madu banggeris hingga berladang menjadi keseharian masyarakat Basap disana.

Namun saat industri ekstraktif mulai merambah sebagian wilayah hutan di Desa tersebut, maka satu-satunya aktifitas yang bisa di lakukan hanyalah berladang, tentu saja dengan sistem berpindah-pindah tempat.

“Itu kampung kami memang kampungnya Dayak Basap, biasanya kami berburu payau, atau mengambil madu di pohon banggeris” katanya dengan raut wajah sedang mengingat-ingat.

Sejak tahun 90 an, masyarakat dayak Basap sangat bergantung pada madu banggeris sebagai mata pencaharian selain berladang. Masyarakat biasanya menjualnya dengan harga 100-500 ribu perliternya. Satu pohon banggeris yang dihinggapi madu lebah, dapat menghidupi dua atau tiga kepala keluarga di masyarakat dayak basap.

 “Kami biasa dapat 40 liter, kadang 70 liter madu asli, Waktu pertama ambil madu sendiri itu aku berusia lima belas tahun, sudah ambil madu di banggeris, terus di tahun 2014 itu sudah tidak ada lagi madu itu, lebahnya tidak ada, habis sudah” tuturnya

Hilangnya Madu Banggeris di Hutan Bengalon

Sebagai komunitas yang telah mendiami hutan Kalimantan, suku Dayak telah menjadikan hutan hujan tropis sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Puluhan tahun lalu, hutan di Desa Tebangan Lembak, Kecamatan bengalon Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Menyimpan banyak keanekaragaman hayati yang membuat sebagian masyarakat bergantung padanya.

Begitupun dengan madu hutan yang didapatkan dari Pohon Banggeris atau dalam ilmu botani disebut Menggeris (Koompassia excelsa.), Pohon berbanir lebar dan tinggi, tingginya mencapai 88 meter, kulit batang berwarna kelabu putih. Daun majemuk, terdiri dari 9-30 anak daun, menyirip berseling. Menjadi pohon yang dikeramatkan masyarakat dayak Basap kebanyakan.

Banggeris sendiri merupakan salah satu pohon tertinggi di kawasan hutan tropis. Di puncaknya, lebah hutan (Apis dorsata) membuat sarang untuk menghindari serangan hewan hutan. Madu yang dihasilkan pun kualitas yang baik.

“Warnanya putih besar, nah kalau banggeris itu gak bisa dijadikan papan, kami ada sejarahnya. Kami bilang itu kualat, karena itu raja kayu. Khusus masyarakat basap itu gak bisa. Karena kami merasa sebelum ada pohon-pohonan yang lain pohon itu sudah duluan tumbuh, sejarahnya itu,” terang Benang.

Pak Benang, Saat memasuki hutan Tebangan Lembak, Kecamatan Bengalon, biasanya mencari tumbuhan obat ataupun berladang. Foto: Edu Ponces/RUIDO Photo

Dalam rekam ingatan Pak Benang, masa kejayaan Madu Banggeris dimulai sejak tahun 1995-97. Kemudian berangsur menghilang sejak pertambangan Batu Bara PT.Kaltim Prima Coal membongkar sebagian tutupan hutan, dan menggali lebih dalam emas hitam dari perut bumi Bengalon.

“Biar ada bunganya itu, mungkin karena dampak tambang ini, coba liat itu kembang-kembang mangga dan rambutan, rontok semuanya, lama berbuah, mana mau lebah hinggap” ungkapnya.

“Banggeris yang dulu saya naikin saat umur 15 tahun, masih ada leh sampai sekarang. Tapi sudah tidak ada madunya lagi. Jadi kalau lewat hutan itu saya kadang ingat-ingat, disini dulu aku manjat ini, kok kenapa sekarang sudah tidak ada lagi. Padahal lebih 8 liter madunya,” lanjutnya mengenang sambil mendongakkan kepala.

Suasana Bukaan Lahan Pertambangan Batu Bara di Wilayah Kecamatan Bengalon. Foto: Edu Ponces / RUIDO Photo

Aktifitas pertambangan batu bara di wilayah Kabupaten Kutai Timur, tercatat hadir sejak 40 tahun lalu, salah satu perusahaan besar yakni PT. Kaltim Prima Coal (KPC). Telah beroperasi sejak tahun 1982 hingga saat ini. Aktivitas PT. KPC di Kutai Timur, beroperasi di 3 kecamatan yaitu: Sangatta Utara, Bengalon dan Rantau Pulung.

Merujuk salinan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kaltim yang diterima kaltimkece.id, izin tambang di sekujur Kaltim menembus 5.137.875,22 hektare, mengambil 40,39 persen daratan provinsi ini. Kemudian luas izin pertambangan di kabupaten di Kutai Timur, baik IUP dan PKP2B, mencapai 1,6 juta hektare. Sebesar 46 persen daratan Kutim adalah izin pertambangan.

Sementara itu berdasarkan catatan Dinas Kehutanan Kaltim yang diterima kaltimkece.id, total izin sektor ini menembus 5.619.662 hektare. Kutai Timur adalah kabupaten dengan izin terluas yakni 1,39 juta hektare.

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim, tahun 2021, Pradarma Rupang menyampaikan bahwa, Tindakan PT. KPC dalam mengeruk isi perut tanah menimbulkan dampak besar terhadap area di sekitar konsesinya. Apa yang dirasakan oleh Pak Benang sebagai bagian dari masyarakat adat Dayak Basap adalah satu dari sekian banyak keresahan yang muncul dipermukaan.

“Seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah mendengarkan aspirasi dan memberikan ruang kepada masyarakat disekitar lingkar tambang termasuk juga khusunya masyarakat adat dayak basap,” tegasnya

Melukis Sarana Romantisme Pak Benang dengan Alam

Tangan lelaki tua yang terlihat kerutannya tersebut, masih piawai dalam memainkan pensil warna diatas kulit kayu berbentuk baju orang dewasa. Gambaran pohon putih besar yang menjulang tinggi, mengisi seluruh ruang kosong di baju jomo yang dimiliki masyarakat basap.

Meski horizonnya terbatas Pak Benag mencoba mengingat kebaikan alam, dengan membuat lukisan pohon banggeris di atas baju adat atau dalam bahasa sehari-hari Dayak Basap disebut Jomo. Baju ini sering mereka gunakan dalam ritual atau pertemuan-pertemuan besar.

“Banggeris bagi kami itu pohon dewa, dia tidak boleh ditebang juga tidak boleh di rusak, tapi setelah pertambangan masuk kami cuman bisa kenang lewat lukisan, madu sudah tidak ada lagi” ungkap Benang.

Selain itu pak Benang juga masih memegang tradisi dan petuah leluhur yang menyampaikan bahwa Pohon Banggeris adalah phon dewa, ia adalah raja dari segala raja tumbuhan di dalam hutan.

Oleh karenanya pohon putih yang menjulang bak raksasa tersebut tidak boleh ditebang ataupun dirusak. Namun saat pertambangan merambah dan menghilangkan sebagian populasi pohon di hutan Bengalon. Pak Benang kini hanya bisa melukisnya.

“Bila mana banggeris itu di tebang, itu kita akan kena sumpah kutukan, ada aja itu sakitnya. Pokoknya hidup terasa tidak bagus. Makanya itu lebah itu senang karena itu kayu suci,” ucap Pak Benang, mengucapkan sumpah leluhur yang masih ia pegang sampai saat ini.

Melukis di Jomo, Baju Adat Dayak Basap Tebangan Lembak yang terbuat dari Kulit Kayu. Foto: Edu Ponces / RUIDO Photo

Peneliti Dala Institute sekaligus antropolog, Hamida Menyampaikan bahwa apa yang dilakukan Pak Benang dengan melukis pohon Banggeris di baju adat mereka adalah bentuk dari romantisme dengan alam.

“Jadi proses mengenang kembali ini adalah proses dimana manusia melakukan kejadian ulang terhadap relasinya. Mereka memiliki memori masa lalu, sehingga itu membuat manusia melakukan romantisme tapi sebenarnya adalah mengenang kembali.” Jelasnya.

Lebih lanjut Hamida juga menerangkan bahwa masyarakat adat dayak basap menyadari jika telah terjadi perubahan terhadap kondisi alam saat ini. Sehingga kegiatan melukis adalah bentuk mengejawantahkan apa yang ada di dalam rekaman masa lalu terkait dengan alam.  Alam itu sebuah bentuk, dan Pak Benang punya relasi dengan alam yang dia ejahwantahkan dengan karya seni.

“Ini memperlihatkan bahwa memang ada relasi identitas manusia yang hidup disekitar alam. Tapi mereka tidak lagi menjadi bagian dari alam karena live hood sudah bergeser dari yang tadinya bergantung kepada hutan untuk mencari, mencari apapun yang tidak hanya madu yang insidental, tapi juga ladang, berburu bergeser menjadi masyarakat industri,” pungkasnya. (Red/SK-05)

Artikulli paraprakKejati Kaltim Geledah BPKAD Kutim, Kajari Henri Akui Hanya Mendampingi
Artikulli tjetërGotong Royong Bersihkan Parit, Camat Sangatta Utara Pimpim KJB